Studi terbaru dari World Meteorological Organization (WMO) mengungkap dampak serius krisis iklim terhadap negara-negara berkembang. Menurut Dwikorita Karnawati, kepala BMKG, kesenjangan ekonomi dan kerentanan terhadap bencana alam semakin memperburuk situasi, dengan kerugian ekonomi di negara-negara ini bisa mencapai puluhan hingga ratusan kali lipat dibandingkan negara maju. Simak paparan lengkapnya di bawah.
Krisis Iklim Mengancam! Negara Berkembang Terluluhur, Kesalahan Manusia?
Studi terbaru mengungkap bahwa negara-negara yang masih berkembang mengalami penderitaan yang lebih besar akibat krisis iklim. Menurut penjelasan dari ahli, hal ini terkait dengan hasil penelitian World Meteorological Organization (WMO) tahun 2021 yang menunjukkan bahwa fenomena cuaca ekstrem, krisis iklim, dan peristiwa terkait air telah menyebabkan terjadinya 11.778 bencana antara tahun 1970 hingga 2021.
Dalam sebuah diskusi yang disiarkan langsung di YouTube pada Senin (1/4), Dwikorita Karnawati, yang menjabat sebagai Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), mengutip data tersebut.
Menurutnya, negara-negara maju mengalami kerugian ekonomi lebih dari 60 persen akibat cuaca, namun kerugian tersebut umumnya bernilai di bawah 0,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa 7 persen bencana mengakibatkan kerugian lebih dari 5 persen dari PDB dan dapat mencapai 30 persen di negara kepulauan kecil. Selain itu, 20 persen bencana menyebabkan kerugian lebih dari 5 persen dari PDB, bahkan ada yang melebihi 100 persen.
Dwikorita menjelaskan bahwa hal ini mengindikasikan bahwa bencana yang melanda negara maju memiliki dampak ekonomi yang relatif kecil dibandingkan dengan bencana yang terjadi di negara-negara berkembang atau yang masih dalam tahap awal pembangunan.
“Dampaknya jauh lebih besar, hingga 50 kali lipat, jika dibandingkan dengan bencana yang terjadi di negara maju. Bahkan bisa melebihi itu. Ini menunjukkan seberapa rentannya negara-negara yang masih berkembang, meskipun bencana yang mereka alami tidak sebesar bencana di negara maju,” ungkap Dwikorita.
Lebih lanjut, Dwikorita menambahkan bahwa kerugian ekonomi yang dialami negara-negara berkembang bisa mencapai puluhan hingga ratusan kali lipat dari dampak yang sama di negara maju. Hal ini menurutnya mencerminkan ketidakadilan yang ada dalam hal penanggulangan dampak iklim dan krisis air.
“Dalam konteks umum, ini menunjukkan bahwa upaya untuk mencapai keadilan dalam hal iklim dan air masih jauh dari terwujud dan malah semakin menuju ke arah ketidakadilan. Terdapat kesenjangan yang signifikan antara tantangan yang dihadapi dan kapasitas yang dimiliki oleh masing-masing negara, wilayah, atau daerah,” paparnya.
Kesenjangan dan Dampak Ekonomi Krisis Iklim
Kesenjangan tersebut, menurut Dwikorita, disebabkan oleh kompleksitas, kerumitan, dan ketidakpastian dari tantangan yang dihadapi, sementara kapasitas untuk menghadapinya belum merata di berbagai negara.
“Masing-masing negara memiliki kepentingan tersendiri, sehingga mereka akan mencari kesepakatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Faktor-faktor seperti perbedaan geografis, kondisi iklim, dan topografi antar negara menyebabkan variasi dan kualitas ketersediaan air juga bervariasi,” jelasnya.
Dalam sebuah kesempatan lain, Dwikorita juga memperingatkan bahwa situasi ini dapat memperburuk kesenjangan ekonomi yang pada akhirnya akan berdampak pada tingkat kesejahteraan dan ketahanan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim.
Sementara itu, ketika ditanya tentang nasib Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, Dwikorita menyatakan bahwa Indonesia memiliki kemampuan teknologi yang cukup baik, ditambah dengan kearifan lokal dan budaya masyarakat yang dapat membantu mengatasi kesenjangan tersebut.
Berdasarkan data dari WMO, kerugian ekonomi global akibat peristiwa cuaca ekstrem, krisis iklim, dan masalah air terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada dekade 1980-an, kerugian ekonomi mencapai US$305,5 miliar; dekade 1990-an, meningkat menjadi US$906,4 miliar; periode 2000-an, mencapai US$997,9 miliar; dan pada dekade 2010-an, melonjak tajam menjadi US$1.476,2 miliar.
Dwikorita menekankan pentingnya melakukan antisipasi terhadap bencana iklim yang lebih besar mengingat tren kenaikan suhu yang terus berlanjut.
“Ancaman kekeringan yang kita hadapi saat ini seolah-olah baru permulaan dari masalah yang lebih besar,” tambahnya.
Menurut perhitungan yang dilakukan oleh BMKG, rata-rata suhu meningkat sebesar 0,3 derajat Celsius setiap dekade. Namun, beberapa ahli dan lembaga iklim dunia memprediksi bahwa peningkatan suhu ini bisa terjadi dengan lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.
Kesenjangan dan Ketidakadilan: Negara-Negara Berkembang Dalam Bayang-Bayang Krisis Iklim
Dari penelitian yang dilakukan oleh World Meteorological Organization (WMO) serta paparan Dwikorita Karnawati, kepala BMKG, dapat disimpulkan bahwa negara-negara berkembang dan belum maju lebih rentan terhadap dampak krisis iklim daripada negara maju.
Kesenjangan ekonomi yang besar, kurangnya kapasitas untuk menghadapi bencana, dan kompleksitas tantangan yang dihadapi menunjukkan adanya ketidakadilan dalam penanganan isu iklim global. Upaya untuk mencapai keadilan dalam hal iklim dan air masih jauh dari terwujud, sementara kerugian ekonomi terus meningkat dari waktu ke waktu.
Hal ini menggarisbawahi pentingnya langkah-langkah antisipatif dan kolaboratif untuk mengurangi kerentanan negara-negara berkembang terhadap krisis iklim.