Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan bantuan sosial (bansos) tambahan berupa bantuan langsung tunai (BLT) pada tahun ini, dengan alokasi dana sebesar Rp11,2 triliun untuk 18,8 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Bantuan BLT ini berjumlah Rp200 ribu per bulan per KPM selama Januari, Februari, dan Maret. Namun, pencairannya akan dilakukan sekaligus pada bulan Februari, sehingga masyarakat akan menerima total Rp600 ribu.
Namun, sejumlah pihak mengkritik BLT ini, menganggapnya sebagai tindakan mendadak yang dilakukan di tengah-tengah kampanye Pilpres 2024, yang dapat menimbulkan berbagai persepsi. Khususnya karena putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi salah satu calon wakil presiden (cawapres).
Selain BLT, Jokowi juga memutuskan untuk memperpanjang penyaluran bantuan pangan berupa beras 10 kilogram (kg) untuk 22 juta KPM hingga Juni 2024, meskipun sebelumnya hanya direncanakan hingga Maret 2024.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa penerima bansos pangan dan BLT merupakan kelompok yang berbeda. Ia menyatakan bahwa BLT diberikan kepada 18,8 juta penduduk, sedangkan bantuan pangan mencapai 22 juta KPM.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, berpendapat bahwa BLT dan bansos pangan merupakan program sementara, dan penerimanya tidak hanya terbatas pada warga miskin, melainkan juga kelompok rentan miskin.
Menurutnya, perbedaan jumlah penerima dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) mungkin disebabkan oleh sifat program yang menyasar kelompok rentan dan hampir miskin.
KPM Bansos, Rentan Miskin, dan Politik Pemerintah
Rendy juga menilai bahwa pemerintah mungkin menggunakan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) dan data penerima bantuan selama pandemi COVID-19, bukan data BPS, untuk menyalurkan bansos. Meskipun demikian, ia menyoroti kurangnya kejelasan dan ketegasan pemerintah terkait independensi penyaluran bansos, terutama dalam konteks tahun politik.