Keputusan Mendikbudristek untuk mencabut gelar profesor Taruna Ikrar telah menciptakan kontroversi dalam dunia pendidikan dan ilmiah. Alasan di balik pencabutan gelar ini dan implikasinya bagi karier dan reputasi Taruna Ikrar menjadi sorotan.
Di bawah ini, kita akan menjelaskan detail keputusan tersebut, riwayat Taruna Ikrar, serta dampaknya dalam tiga alinea singkat.
Taruna Ikrar Kehilangan Gelar Profesor: Fakta dan Kontroversi
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim telah memutuskan untuk mencabut gelar profesor yang dimiliki oleh Taruna Ikrar. Keputusan ini tercatat dalam Keputusan Mendikbudristek RI Nomor 0728/E.E4/RHS/DT.04.01/2023 tentang Penyetaraan Jabatan Akademik Dosen.
Taruna Ikrar, seorang dokter dan ilmuwan di bidang farmasi, jantung, dan syaraf, memiliki latar belakang pendidikan yang dimulai dari SD hingga perguruan tinggi di Makassar, Sulawesi Selatan. Ia meraih gelar sarjana (S1) dari Universitas Hasanuddin.
Kemudian, Taruna melanjutkan studi di bidang Farmakologi sebagai mahasiswa magister di Universitas Indonesia (UI) dan menerima beasiswa dari pemerintah Jepang (Mombukagakusho).
Selanjutnya, Taruna mengejar gelar doktor dengan spesialisasi dalam penyakit jantung di Universitas Niigata, Jepang. Ia juga melanjutkan program pascadoktoralnya di School of Medicine, University of California, Amerika Serikat, pada tahun 2008.
Selama kariernya, Taruna aktif dalam berbagai organisasi, termasuk sebagai Tenaga Ahli bidang dokter muda pada periode 2000-2003. Ia juga menjadi anggota beberapa organisasi ilmiah internasional seperti American Cardiology Collage, Society for Neurosciences, International Heart Research Association, Asia Pacific Hearth Rhythm Association, dan Japanese Cardiologist Association.
Pencabutan Gelar Profesor Taruna Ikrar: Klarifikasi dan Implikasi
Salah satu prestasi Taruna adalah menjadi pemegang paten metode pemetaan otak manusia sejak tahun 2009. Pada tahun 2012, ia pernah menjabat sebagai spesialis laboratorium di departemen anatomi dan neurobiologi di Universitas California di Irvine.
Taruna juga termasuk salah satu penulis yang turut mempopulerkan sistem allatostatin receptor (AlstR) dengan artikel yang dipublikasikan di jurnal Frontiers of Neural Circuit edisi 20, Januari 2012.
Selain itu, ia juga berperan sebagai pengajar di Departemen Biotechnology dan Neuroscience di Surya University pada tahun 2014, dan pernah menjadi adjunct professor di Department Neurology di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Pada tahun tersebut, bersama peneliti lain, Taruna terlibat dalam penelitian mengenai kualitas tidur. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa kualitas tidur sangat dipengaruhi oleh keseimbangan hormon, terutama kadar melanin-concentrating hormone (MCH).
Pada tahun ini, Taruna Ikrar menjabat sebagai ketua International Medical Conference (IMC) 2023 yang akan diselenggarakan di Bali pada 10-13 November mendatang.
Namun, baru-baru ini, Mendikbudristek Nadiem mencabut gelar profesor Taruna Ikrar. Plt Dirjen Diktiristek Kemendikbudristek, Nizam, mengungkapkan bahwa pencabutan gelar profesor tersebut dilakukan karena adanya dugaan kecurangan dalam proses penyetaraan jabatan Guru Besar. “Ada fraud di dalam usulan penyetaraan Guru Besarnya,” kata Nizam pada Kamis (2/11).
Mendikbudristek Cabut Gelar Profesor Taruna Ikrar: Alasan dan Dampaknya
Dampak dari pencabutan gelar profesor ini juga mencakup ketidakpastian mengenai keterlibatan Taruna Ikrar dalam proyek-proyek dan konferensi internasional yang sedang berlangsung. Salah satunya adalah perannya sebagai ketua International Medical Conference (IMC) 2023 yang akan digelar di Bali.
Bagaimanapun, keputusan ini juga menjadi peringatan bagi dunia akademik mengenai pentingnya menjaga integritas dan etika dalam proses penyetaraan jabatan akademik. Pencabutan gelar profesor Taruna Ikrar membuktikan bahwa keadilan dan transparansi harus diutamakan dalam dunia pendidikan dan penelitian.