MEMO, Jakarta: Presiden Joko Widodo resmi meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Program ini bertujuan untuk memulihkan luka bangsa akibat pelanggaran HAM berat masa lalu dan memperkuat pemulihan hak korban.
Pemilihan Aceh sebagai titik awal implementasi rekomendasi ini didasarkan pada kontribusi sejarah dan penghormatan terhadap bencana kemanusiaan di sana, serta tingginya tingkat respek terhadap proses perdamaian.
Artikel ini mengulas peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi dari tahun 1965 hingga 2003 dan menyoroti pentingnya penyelesaian non-yudisial dalam pemulihan kasus-kasus tersebut.
Latar Belakang dan Signifikansi Pemilihan Aceh untuk Program Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat
Presiden Joko Widodo meluncurkan program implementasi rekomendasi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat secara non-yudisial pada Selasa (27/6/2023).
Acara pembukaan program ini diadakan di Rumoh Geudong, Gampong Bili Aron, Kabupaten Pidie, Aceh.
“Dengan ini, saya secara resmi meluncurkan program implementasi rekomendasi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat secara non-yudisial di Indonesia,” ujar Presiden.
Menurut Kepala Negara, program ini bertujuan untuk menyembuhkan luka bangsa akibat pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Beliau juga menyebutkan bahwa pelanggaran HAM berat tersebut telah memberikan beban yang berat bagi para korban dan keluarga mereka.
“Oleh karena itu, luka ini harus segera diobati agar kita dapat melangkah maju,” tambahnya.
Presiden menyatakan bahwa pemerintah telah memutuskan untuk mengadopsi penyelesaian kasus non-yudisial terkait sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat.
Keputusan ini difokuskan pada pemulihan hak-hak korban tanpa mengabaikan proses hukum yang ada.
“Kami bersyukur bahwa kami dapat memulai pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat dalam 12 peristiwa ini. Ini juga merupakan langkah bersama untuk mencegah agar hal serupa tidak terulang lagi,” ungkapnya.
Pemilihan Aceh sebagai tempat awal pelaksanaan rekomendasi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat secara non-yudisial didasarkan pada tiga faktor, seperti yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM, Mahfud MD.
“Pertama, kontribusi bersejarah yang penting dari rakyat dan Provinsi Aceh terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Kedua, penghormatan negara terhadap bencana kemanusiaan tsunami tahun 2024,” katanya.
“Dan yang ketiga, penghormatan pemerintah yang sangat tinggi terhadap proses perdamaian yang sedang berlangsung di Aceh,” tambahnya.
Menurutnya, ketiga faktor tersebut memiliki dimensi kemanusiaan yang kuat dan relevan dengan upaya pemenuhan hak-hak korban.
Daftar 12 Peristiwa Pelanggaran HAM Berat yang Akan Ditangani dalam Program Pemulihan
Berikut ini adalah 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi antara tahun 1965 hingga 2003:
- Peristiwa 1965-1966
- Peristiwa Penembakan Misterius (petrus) 1982-1985
- Peristiwa Talangsari, Lampung 1989
- Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989
- Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
- Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
- Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999
- Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
- Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999
- Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002
- Peristiwa Wamena, Papua 2003
- Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003
Peluncuran program pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat oleh Presiden Joko Widodo menandai komitmen pemerintah Indonesia dalam memperjuangkan keadilan dan pemulihan bagi korban.
Dengan fokus pada penyelesaian non-yudisial, program ini bertujuan untuk mengobati luka-luka bangsa dan mencegah terulangnya pelanggaran HAM serupa di masa depan.
Pemilihan Aceh sebagai tempat awal pelaksanaan rekomendasi menunjukkan penghargaan terhadap kontribusi sejarah dan proses perdamaian di sana.
Melalui program ini, diharapkan hak-hak korban pelanggaran HAM berat dalam 12 peristiwa yang terjadi sejak 1965 hingga 2003 dapat pulih secara adil dan berkelanjutan.