Dinas Pengendalian Penduduk KB Pemberdayaan dan Perlindungan anak (DPPKBP3A) Kabupaten Blitar mendata sejak Januari hingga Juni 2021 ada puluhan anak yang menjadi korban kekerasan. Baik kekerasan fisik maupun seksual.
Selama enam bulan terakhir, ada 29 kasus yang melibatkan anak menjadi korban. Rinciannya, kasus kekerasan seksual ada 11 anak, pencabulan ada enam anak, human trafficking ada dua anak, kekerasan fisik delapan anak, dan anak berhadapan hukum (ABH) ada dua anak. ABH di sini adalah anak sebagai korban, anak merupakan pelaku dan anak sebagai saksi.
“Dari jumlah itu, masih seperti tahun sebelumnya kekerasan seksual mendominasi dengan jumlah 11 kasus. Dan dari konseling kami, pelaku masih dilakukan oleh orang-orang terdekat korban,” kata Kepala DPPKBP3A Kabupaten Blitar, Eka Purwanta,
Eka menuturkan kasus tersebut naik jika dibandikan tahun 2020. Pada periode yang sama, tercatat ada 25 kasus yang melibatkan anak sebagai korban. Tercatat, kasus anak berhadapan dengan hukum di Kabupaten Blitar selama tahun 2020 sebanyak 45 kasus.
Menurut dia, pandemi Covid-19 tidak berpengaruh signifikan pada kenaikan kasus. Eka menilai masyarakat semakin terbuka dan berani melaporkan kasus ini kepada pemerintah dan aparat penegak hukum.
Gencarnya sosialisasi terkait pentingnya hak hukum bagi korban sampai level keluarga dinilai sangat efektif untuk membuka tabir kasus yang sebelumnya hanya sebatas aib bagi keluarga dan korban.
“Mereka secara sukarela melapor ke kami atau polisi. Mereka seperti punya tempat untuk curhat dan memang butuh pelrindungan. Karena rata-rata korban itu masih di tingkat sekolah dasar, sehingga peran orang tua ini sangat penting untuk melaporkan ke P2TP2A,” kata dia.
Eka menyampaikan tuga dan fungsi P2TP2A yakni melakukan pendampingan secara hukum dan psikologi anak.
Bidang Hukum P2TP2A Kabupaten Blitar, Yulis Hastuti, mengatakan ada sebagian kasus kekerasan seksual pada anak langsung dilaporkan ke kepolisin dan ada yang dilaporkan ke Satgas PPA di desa atau keluarahan.
Laporan dugaan kasus kekerasan seksual pada anak kemudian didalami dengan mendatangi langsung keluarga korban dan korban. Ini untuk memastikan para korban secara perbuatan mengalami dan memang menjadi korban.
Layanan P2TP2A sebelum dugaan kasus ini menuju ranah hukum, bagi bidang hukum memberikan pemahaman kepada orang tua korban tentang proses hukum.
Sedangkan bidang psikologi, kata dia, diberikan konseling prikologi agar korban bersedia kasus yang menimpanya dilaporkan ke aparat penegak hukum. Sehingga orang tua maupun korban mentalnya sudah siap ketika kasusnya dilaporkan ke polisi.
“Kami berharap P2TP2A selama proses hukum baik di penyidikan, kejaksaan atau pengadilan negeri itu dilibatkan. Tetapi, terkadang kasus yang dilaporkan langsung ke polisi, tidak dikomunikasikan ke kami. Bagi kami ini kendala. Karena orang tua korban dan korban tidak mendapatkan hak pendampingan hukum dan psikologi,” jelas Yulis.
Menurut dia, ketika masyarakat tidak memahami proses hukum dan haknya di hadapan hukum, penanganan kasus yang sudah dilaporkan terkesan jalan di tempat. Berjalan lambat bahkan tidak direspon dengan cepat.