Revisi kedua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyisakan harapan baru terkait perlindungan konsumen dalam ranah digital. Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria memastikan perubahan aturan ini dapat membantu mengurangi kasus-kasus jeratan UU ITE terhadap konsumen yang mengeluhkan di media sosial.
Pembaruan Pasal dan Perlindungan Anak dalam UU ITE Revisi Kedua
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria menyatakan bahwa setelah dilakukan revisi kedua, isu keluhan konsumen yang terjerat dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak akan terjadi lagi.
Nezar menyampaikan, “Dalam aturan tersebut, hak-hak individu terlihat dilindungi. Jika suatu hal dapat dibuktikan untuk kepentingan masyarakat secara luas, individu akan dibebaskan dari jeratan hukum tersebut.” Hal ini diungkapkannya saat ditanya mengenai konsumen yang sering kali terjerat dalam UU ITE setelah mengajukan keluhan di media sosial, di Jakarta pada hari Selasa (5/12).
Salah satu pasal yang seringkali menjadi sasaran dalam UU ITE adalah pasal 27 ayat 3, yang melarang orang untuk menyebarkan atau membuat konten yang mengandung penghinaan atau pencemaran nama baik.
Pasal tersebut sering disalahgunakan oleh beberapa pihak, termasuk di antaranya adalah pihak yang mendapat keluhan dari konsumennya.
Berikut ini adalah isi dari pasal 27 ayat 3: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Ayat ini telah direvisi dalam revisi kedua UU ITE yang disetujui hari ini (5/12) oleh DPR. Pasal baru yang menggantikan pasal 27 ayat 3 tersebut adalah: “Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”
Perubahan Pasal 27 Ayat 3 dan Perlindungan Anak dalam UU ITE
Lebih lanjut, Nezar berharap tidak akan ada lagi kasus-kasus seperti sebelumnya yang terjadi akibat penggunaan UU ITE yang kurang tepat.
“Menurut saya, ada beberapa keprihatinan dari masyarakat sipil terkait penggunaan pasal 27, misalnya, dan pasal 28. Semuanya telah diperhatikan dalam revisi ini,” ujarnya.
“Kami berharap penggunaannya akan lebih tepat,” tambahnya.
Nezar menjelaskan bahwa terdapat total 14 pasal yang mengalami revisi dalam revisi kedua UU ITE ini. Selain itu, ada penambahan 5 pasal baru.
Salah satu pasal baru memperhatikan perlindungan anak di ranah digital yang disediakan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE). PSE diwajibkan memiliki serangkaian mekanisme untuk melindungi anak-anak di platformnya, seperti memberikan informasi tentang batasan usia untuk akses, verifikasi usia pengguna anak-anak, serta melaporkan penyalahgunaan produk yang berpotensi melanggar hak anak.
Sejak UU ITE disahkan pada tahun 2008, telah terjadi sejumlah kasus pencemaran nama baik. Salah satu kasus yang paling terkenal adalah kasus Prita Mulyasari yang terjerat dalam UU ITE pada tahun 2008.
Kasus ini dimulai ketika Prita melakukan pemeriksaan kesehatan di RS Omni Internasional Tangerang. Namun, setelah pemeriksaan, ia mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut melalui milis.
Keluhan yang disampaikan oleh Prita terkait pelayanan RS Omni Internasional kemudian menyebar luas. Akibatnya, pihak RS Omni kemudian menggugat Prita dengan menggunakan pasal yang disebutkan sebelumnya.
Perubahan Revisi UU ITE: Perlindungan Konsumen Lebih Baik dalam Ruang Digital
Nezar Patria, Wamenkominfo, menegaskan perlunya kehati-hatian dalam penggunaan UU ITE agar tidak menimbulkan penyalahgunaan hukum terhadap konsumen yang menyuarakan keluhan. Dengan adanya revisi ini, diharapkan akan tercipta penggunaan yang lebih tepat dan perlindungan yang lebih baik bagi konsumen dalam ruang digital.