Adapun dalam UU ITE jilid II yang ditandatangani oleh Jokowi, terdapat penambahan pada ayat (3) dalam pasal 28 yang mengatur larangan menyebarkan berita bohong.
“Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat,” demikian bunyi dari ayat tersebut.
Selain itu, UU ITE jilid II juga memberikan kewenangan kepada penyidik kepolisian untuk menutup akun media sosial seseorang. Penambahan ketentuan ini terjadi melalui pasal 43 huruf (i).
“Memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses secara sementara terhadap akun media sosial, rekening bank, uang elektronik, dan atau aset digital,” seperti yang tertulis dalam ketentuan tersebut.
Kontroversi dan Implikasi: Revisi UU ITE Jilid II Terungkap
Dalam revisi UU ITE jilid II, terjadi pergeseran signifikan dalam ketentuan hukum terkait. Penghapusan pasal 27 ayat (3) yang sebelumnya mengatur tentang pidana atas penghinaan dan pencemaran nama baik di platform elektronik menjadi sorotan.
Namun, penambahan pasal baru seperti 27A dan 27B menciptakan polemik baru, dianggap sebagai pasal “karet” yang dapat memiliki interpretasi luas. Di sisi lain, penambahan ketentuan melarang penyebaran informasi bohong dalam pasal 28 menjadi langkah penting dalam mengendalikan potensi kerusuhan di masyarakat melalui media elektronik.
Pemberian wewenang kepada penyidik kepolisian untuk menutup akun media sosial melalui pasal 43 huruf (i) juga menjadi titik perhatian utama, memunculkan debat seputar kebebasan berekspresi dalam ruang digital.