Revisi terbaru Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau UU ITE jilid II, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo, menghadirkan perubahan signifikan dalam pengaturan kejahatan daring.
Langkah ini memunculkan sorotan atas penambahan dan eliminasi pasal yang mengatur kebebasan berekspresi di ranah elektronik.
Analisis Mendalam atas Revisi UU ITE Jilid II: Perubahan Kontroversial
Tanda tangan Presiden Joko Widodo pada revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dikenal sebagai UU ITE jilid II telah dilakukan. Langkah penandatanganan dan pengundangan ini terjadi pada hari Selasa, tanggal 2 Januari.
Salinan dari undang-undang ini telah diunggah oleh Kementerian Sekretariat Negara ke situs resmi mereka.
Berdasarkan informasi dari Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementerian Sekretariat Negara pada hari Kamis, tanggal 4 Januari, disebutkan bahwa salinan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 telah disahkan pada tanggal 2 Januari 2024 dan diundangkan pada tanggal yang sama.
Revisi pada UU ITE jilid II ini identik dengan yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 5 Desember 2023. Perubahan dalam undang-undang ini melibatkan sejumlah ketentuan yang sebelumnya terdapat dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 dan UU Nomor 19 Tahun 2016.
Salah satu poin yang menarik perhatian dari revisi UU ITE ini adalah eliminasi dari pasal 27 ayat (3) yang dulunya mengatur tentang pidana terkait penghinaan atau pencemaran nama baik melalui saluran elektronik.
Namun demikian, dalam UU ITE jilid II, terdapat penambahan pasal 27A dan 27B yang banyak dianggap sebagai pasal dengan cakupan yang luas dalam UU ITE.
UU ITE Revisi II Mengguncang Dunia Daring
Pasal 27A berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”
Adapun dalam UU ITE jilid II yang ditandatangani oleh Jokowi, terdapat penambahan pada ayat (3) dalam pasal 28 yang mengatur larangan menyebarkan berita bohong.
“Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat,” demikian bunyi dari ayat tersebut.
Selain itu, UU ITE jilid II juga memberikan kewenangan kepada penyidik kepolisian untuk menutup akun media sosial seseorang. Penambahan ketentuan ini terjadi melalui pasal 43 huruf (i).
“Memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses secara sementara terhadap akun media sosial, rekening bank, uang elektronik, dan atau aset digital,” seperti yang tertulis dalam ketentuan tersebut.
Kontroversi dan Implikasi: Revisi UU ITE Jilid II Terungkap
Dalam revisi UU ITE jilid II, terjadi pergeseran signifikan dalam ketentuan hukum terkait. Penghapusan pasal 27 ayat (3) yang sebelumnya mengatur tentang pidana atas penghinaan dan pencemaran nama baik di platform elektronik menjadi sorotan.
Namun, penambahan pasal baru seperti 27A dan 27B menciptakan polemik baru, dianggap sebagai pasal “karet” yang dapat memiliki interpretasi luas. Di sisi lain, penambahan ketentuan melarang penyebaran informasi bohong dalam pasal 28 menjadi langkah penting dalam mengendalikan potensi kerusuhan di masyarakat melalui media elektronik.
Pemberian wewenang kepada penyidik kepolisian untuk menutup akun media sosial melalui pasal 43 huruf (i) juga menjadi titik perhatian utama, memunculkan debat seputar kebebasan berekspresi dalam ruang digital.