Di kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, mengonfirmasi bahwa PLTU Suralaya memang menghasilkan emisi yang sangat tinggi. “Saya sendiri pernah terbang di atas wilayah tersebut, dan memang emisi di sana cukup berat,” ungkap Arifin.
Arifin menjelaskan bahwa dalam proses pensiun dini PLTU Suralaya, prioritas akan diberikan pada unit-unit yang paling tua dan yang menghasilkan emisi terbanyak. “Kami akan mulai dengan unit yang paling tua dan paling tidak efisien dari segi emisi. Itu akan menjadi kriteria utama kami,” tambah Arifin.
Namun, pensiun dini PLTU Suralaya berpotensi menimbulkan masalah pada suplai listrik di Jawa jika tidak direncanakan dengan matang. Oleh karena itu, pemerintah berencana untuk membangun infrastruktur transmisi baru antara Sumatera dan Jawa untuk mengangkut energi baru terbarukan (EBT) ke Jawa.
“Potensi energi baru di Jawa saat ini masih belum mencukupi, jadi kami memerlukan sambungan dari Sumatera. Ini harus dilakukan secara bertahap, dan tanpa infrastruktur transmisi yang memadai, energi baru tersebut tidak akan bisa masuk ke Jawa,” tutup Arifin.
Penutupan PLTU Suralaya: Langkah Menuju Udara Bersih
Pemerintah Indonesia, yang diwakili oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, tengah merencanakan pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya untuk menanggulangi masalah polusi udara di Jakarta. PLTU Suralaya yang telah beroperasi lebih dari empat dekade dianggap sebagai salah satu sumber utama pencemaran udara, yang menyebabkan Indeks Kualitas Udara (AQI) di Jakarta mencapai angka yang membahayakan kesehatan masyarakat. Luhut menekankan bahwa penutupan PLTU ini bertujuan untuk menurunkan kadar polusi dan meningkatkan kualitas udara di ibukota.