Para ekonom telah memperingatkan bahwa kenaikan rasio utang menjadi 50% bisa menyebabkan defisit anggaran melampaui batas maksimum yang telah ditetapkan, yaitu sebesar 3% dari PDB. Berdasarkan Undang-Undang Keuangan Negara Indonesia, yang diperkenalkan setelah krisis keuangan Asia pada akhir 1990-an, defisit anggaran tahunan pemerintah dibatasi hingga 3% dari PDB dan rasio utang terhadap PDB maksimum adalah 60%.
Kenaikan batas utang ini juga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah, yang telah melemah lebih dari 5% terhadap dolar AS sepanjang tahun ini. Hingga saat ini, Bank Dunia belum memberikan tanggapan terkait rencana kenaikan batas utang tersebut.
Sebelumnya, presiden terpilih Prabowo Subianto dikabarkan tengah menjajaki cara untuk menghilangkan defisit fiskal dan batas atas rasio utang terhadap PDB, sebagai upaya untuk memenuhi janji kampanyenya. Namun, penasihat fiskal Prabowo, Thomas Djiwandono, menyatakan bahwa ia tidak mengetahui adanya diskusi untuk menghapus batas defisit fiskal dan rasio utang.
Djiwandono menambahkan bahwa Prabowo tetap berkomitmen untuk merancang anggaran tahun 2025 sesuai dengan batas fiskal yang telah ditetapkan.
“Kami tetap berkomitmen terhadap rencana yang telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo untuk tahun 2025,” ujarnya kepada Reuters, Kamis (11/7/2024).
Untuk tahun depan, defisit fiskal Indonesia dipatok sebesar 2,29% hingga 2,82% terhadap PDB.
Strategi Prabowo dalam Mengelola Utang dan Pendapatan Negara
Pemerintahan Prabowo Subianto berencana meningkatkan batas utang negara hingga 50% dari PDB untuk mendanai berbagai program ambisius, termasuk penyediaan makanan bergizi gratis. Kebijakan ini didasarkan pada konsultasi dengan Bank Dunia, yang menyarankan bahwa kenaikan ini merupakan langkah yang bijaksana. Namun, peningkatan utang ini akan diimbangi dengan upaya peningkatan pendapatan negara dari berbagai sumber seperti pajak, cukai, dan PNBP.