Pada awal tahun, momentum Veganuary menjadi sorotan utama bagi mereka yang ingin menjajal gaya hidup vegan. Namun, meski minat terhadap pola makan tanpa produk hewani meningkat, tantangan mengajak kaum pria untuk beralih tetap menjadi fokus utama.
Stereotip seputar daging dan maskulinitas menjadi penghalang, menyulitkan peningkatan partisipasi kaum pria dalam gerakan ini.
Mengapa Kaum Pria Enggan Jadi Vegan?
Pada bulan Januari, banyak yang melihatnya sebagai saat yang tepat untuk mencoba gaya hidup vegan. Ada kampanye bernama Veganuary yang mendorong orang untuk beralih ke pola makan tanpa produk hewani atau vegan saat memasuki tahun baru.
Veganuary sendiri, yang merupakan sebuah lembaga nirlaba di Inggris, melaporkan adanya peningkatan jumlah orang yang tertarik untuk bergabung dalam kampanye ini.
Pada tahun sebelumnya, lebih dari 700 ribu orang mendaftar dari hampir semua negara, kecuali Korea Utara. Di antara negara-negara tersebut, Jerman menjadi yang paling banyak mencari informasi seputar veganisme di Google secara global, mengalami peningkatan hampir dua kali lipat sejak tahun 2016, diikuti oleh Inggris dan Austria.
Namun, mengajak orang, terutama kaum pria, untuk beralih ke gaya hidup vegan ternyata menimbulkan beberapa masalah tersendiri.
Mengatasi persepsi bahwa “makan daging itu maskulin” menjadi tantangan yang cukup besar.
Meskipun sekitar 1,3% populasi di Inggris menyatakan diri sebagai vegan, hanya sekitar 37% di antaranya yang merupakan pria, menurut data dari The Vegan Society.
“Mungkin lebih banyak wanita yang cenderung menjadi vegan,” ujar Maisie Stedman, petugas media dari The Vegan Society yang berbasis di Inggris, seperti yang dikutip oleh dw.
“Kami merasa hal ini berkaitan dengan stereotip yang ada mengenai identitas seorang pria dan bagaimana mereka berhubungan dengan konsumsi daging.”
Tantangan Mengajak Kaum Pria untuk Bergabung dalam Veganuary
Konsep bahwa daging identik dengan kejantanan memiliki akar yang kuat dalam budaya dan terlihat dalam berbagai hal, mulai dari budaya populer, pemasaran makanan, hingga bahasa.
Sebuah studi menunjukkan bahwa dalam bahasa yang memiliki kata benda berdasarkan jenis kelamin, kata-kata yang berkaitan dengan daging lebih sering terkait dengan kata benda yang berjenis kelamin laki-laki.
“Saya rasa di hampir semua tempat di belahan bumi utara, kita mengasosiasikan daging dengan kejantanan,” kata Isaias Hernandez, seorang pendidik lingkungan dari Amerika Serikat.
“Dan hal ini memperkuat pola pikir patriarki yang menguasai berbagai aspek dalam kehidupan di Bumi.”
The Vegan Society baru-baru ini melakukan penelitian untuk melihat sikap terhadap pola makan vegan, dengan tujuan untuk melibatkan lebih banyak pria.
Mereka menemukan bahwa meskipun 41% pria non-vegan di Inggris tertarik untuk menjadi vegan, hambatan utamanya adalah stigma sosial atau ejekan dari teman dan keluarga, karena gaya hidup vegan sering dianggap sebagai sesuatu yang “feminin”.
Selain itu, istilah “soy boy” juga seringkali dilekatkan pada mereka. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan pria yang dianggap lemah karena gaya hidup vegan mereka.
Mengatasi Stereotip Maskulinitas dalam Veganuary: Mendorong Partisipasi Kaum Pria
Mendorong kesadaran akan hubungan antara gaya hidup vegan dengan aspek kesehatan, lingkungan, dan kemanusiaan tanpa berkaitan dengan identitas gender menjadi langkah krusial. Dengan demikian, dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan memperluas akses terhadap manfaat gaya hidup berbasis nabati bagi semua orang, tanpa terkekang oleh stereotype yang ada.