Mantan Menko Kemaritiman dan Sumber Daya itu mengatakan, akibat pemakaian pupuk non subsidi serta tidak efisiennya proses produksi petani, maka harga gabah yang dijual menjadi lebih murah daripada modal yang dikeluarkan petani.
“Karena dia beli pupuk yang tidak disubsidi, jadi rasio antara harga gabah dan pupuk yang disubsidi, rasionya itu kurang dari 1, yaitu 0,9. Maka tidak aneh kalau nilai tukar petani dibawah 1. Artinya petani bukan makin kaya tapi malah makin miskin,” jelasnya.
Ia pun membandingkan ketika zaman orde baru (Orba) di bawah pimpinan Soeharto. Menurutnya ketika itu, dalam mensejahterakan petani, rumusnya sangat sederhana yaitu rasio harga gabah dibandingkan rasio harga pupuk harus 3 berbanding 2.
“Jadi 2 untuk pupuknya, dan 1 untuk petani-nya untuk keuntungannya. Itu dari zaman Orba sampai zaman Gus Dur (Abdurrahman Wahid) itu yang digunakan. Petani nya makmur,” pungkasnya.