Example floating
Example floating
Politik-Birokrasi

Kenapa Anggaran Perlindungan Sosial Justru Menguntungkan Orang Kaya?

Avatar
×

Kenapa Anggaran Perlindungan Sosial Justru Menguntungkan Orang Kaya?

Sebarkan artikel ini
Kenapa Anggaran Perlindungan Sosial Justru Menguntungkan Orang Kaya?
Kenapa Anggaran Perlindungan Sosial Justru Menguntungkan Orang Kaya?
Example 468x60

MEMO

Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan adanya ketidaktepatan sasaran dalam anggaran perlindungan sosial yang seharusnya ditujukan untuk mendukung rumah tangga miskin dan rentan. Dalam dekade terakhir, sekitar Rp53,7 triliun dari total anggaran perlindungan sosial ternyata lebih banyak dinikmati oleh golongan kaya, bukan oleh kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Masalah ini menimbulkan dampak negatif pada daya beli masyarakat dan berpotensi meningkatkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Ketidaktepatan Sasaran Anggaran Perlindungan Sosial

Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan pentingnya peran anggaran perlindungan sosial (perlindos) dalam mendukung rumah tangga yang miskin, rentan, serta kelas menengah. Namun, Sri Mulyani juga mengakui bahwa anggaran tersebut sering kali tidak tepat sasaran.

Dalam dekade terakhir, sekitar Rp53,7 triliun dari anggaran perlindungan sosial justru dinikmati oleh golongan yang lebih kaya. Artinya, 10% dari total anggaran perlindungan sosial masuk ke tangan orang-orang kaya, bukan kepada yang seharusnya menerima.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa sejumlah bantuan sosial (bansos) sebesar Rp4,2 triliun, subsidi dan kompensasi energi senilai Rp8,5 triliun, serta pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp1 triliun, seharusnya ditujukan untuk masyarakat miskin. Namun, kenyataannya, dana tersebut lebih banyak dinikmati oleh kalangan yang lebih mampu secara ekonomi. Idealnya, bansos harusnya lebih banyak diterima oleh kelompok masyarakat yang berada pada desil 1 hingga 4, yaitu kelompok yang paling miskin.

Selain itu, anggaran subsidi yang mencakup barang-barang seperti bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan gas LPG dengan harga yang lebih rendah juga ternyata turut dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat. Sri Mulyani menambahkan bahwa ketidaktepatan sasaran ini berdampak pada perlindungan daya beli seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berada di kelompok kaya.

Baca Juga  Jateng Siap Sambut "Sekolah Rakyat", Pendidikan Berkualitas untuk Semua

Permasalahan ketidaktepatan sasaran dalam perlindungan sosial ini juga telah mendapat perhatian dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut bahkan berencana untuk membatasi penyaluran BBM bersubsidi guna mengurangi masalah pencemaran udara akibat tingginya kandungan sulfur dalam BBM bersubsidi.

“Pertamina sedang mempersiapkan kebijakan tersebut, dan kami berharap bahwa mulai 17 Agustus, pembatasan BBM bersubsidi untuk yang tidak berhak sudah dapat dimulai,” kata Luhut.

Ketidaktepatan sasaran dalam subsidi energi diperkirakan juga akan berkontribusi pada peningkatan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga akhir tahun 2024. Defisit APBN diproyeksikan akan mencapai Rp609,7 triliun atau 2,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB), meningkat dari sebelumnya Rp522,8 triliun atau 2,29% dari PDB. Peningkatan defisit ini disebabkan, antara lain, oleh penyaluran subsidi energi yang tidak tepat sasaran.

Menghadapi tantangan tersebut, pemerintah kini tengah berupaya memperbaiki mekanisme penyaluran subsidi dan perlindungan sosial agar lebih efektif dan tepat sasaran. Langkah ini diharapkan dapat lebih banyak membantu masyarakat miskin dan rentan sesuai dengan tujuan awal dari program-program tersebut.

Ketidaktepatan Sasaran dalam Anggaran Perlindungan Sosial: Dampak dan Upaya Perbaikan

Ketidaktepatan sasaran dalam anggaran perlindungan sosial menjadi isu utama yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia. Sebagian besar anggaran perlindungan sosial, seperti bantuan sosial, subsidi energi, dan pembebasan PPN, malah dinikmati oleh kelompok ekonomi yang lebih mampu. Hal ini menyebabkan dampak yang kurang optimal pada masyarakat miskin dan rentan, serta berkontribusi pada peningkatan defisit APBN.