“Pihak Kemenkop UKM mencatat bahwa potensi impor yang tidak terdaftar terbesar berasal dari kategori HS 60-63, yang mencakup pakaian jadi. Ini menunjukkan bahwa nilai ekspor dari Tiongkok yang mencakup produk pakaian tidak sebanding dengan nilai impor resmi kita. Kami menduga ini menandakan adanya produk yang masuk secara ilegal dan tidak tercatat,” ungkapnya dalam konferensi pers yang dilaksanakan di kantor Kemenkop UKM pada Selasa (6/8).
Ia menambahkan bahwa peredaran barang-barang selundupan ini memberikan dampak negatif yang signifikan bagi ekonomi Indonesia. Produk-produk ini dapat dijual dengan harga jauh lebih rendah karena tidak dikenakan biaya bea masuk, sehingga menciptakan kesulitan bagi produk-produk yang dihasilkan oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam negeri untuk bersaing.
Temy, perwakilan dari Kemenkop UKM, mengemukakan bahwa keberadaan produk impor ilegal ini berpotensi menyebabkan kehilangan lapangan kerja untuk sekitar 67 ribu orang, dengan total pendapatan tahunan para karyawan bisa mencapai Rp2 triliun. Selain itu, dampak kerugian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) multi sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) diperkirakan mencapai Rp11,83 triliun per tahun.
Beliau juga mengungkapkan potensi kerugian negara akibat sektor pajak, yang diperkirakan bernilai sekitar Rp6,2 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari pajak yang hilang sebesar Rp1,4 triliun dan bea cukai sebesar Rp4,8 triliun.
Dampak Negatif Impor Ilegal pada UMKM dan Ekonomi Indonesia
Impor ilegal, terutama dalam kategori tekstil, menjadi ancaman serius bagi pertumbuhan dan keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. Produk-produk yang berasal dari penyelundupan ini bukan hanya merusak persaingan harga, tetapi juga mengakibatkan hilangnya potensi serapan tenaga kerja sebesar 67 ribu orang dan pendapatan karyawan hingga Rp2 triliun tiap tahunnya.