MEMO.CO.ID, JAKARTA – Jaksa KPK memanggil Dedi Nursyamsi, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementerian Pertanian, sebagai saksi dalam persidangan kasus gratifikasi dan pemerasan dengan terdakwa mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL). Dedi mengungkapkan bagaimana ia dan pejabat eselon I Kementan lainnya diminta untuk mengumpulkan uang patungan guna memenuhi kebutuhan operasional SYL, termasuk sewa jet pribadi dan umroh.
Pengakuan Pejabat Kementan dalam Sidang Kasus Gratifikasi SYL
Jaksa KPK memanggil Dedi Nursyamsi, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementerian Pertanian, sebagai saksi dalam sidang kasus gratifikasi dan pemerasan dengan terdakwa mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL). Dedi mengisahkan bagaimana ia dan pejabat Kementan lainnya diminta untuk mengumpulkan uang bagi SYL.
Dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta pada hari Senin (3/6/2024), Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh menanyakan tentang praktik patungan yang terjadi di Kementan.
“Bagaimana praktiknya?” tanya hakim.
Dedi menjawab bahwa para pejabat eselon I dikumpulkan di ruangan milik mantan staf khusus SYL, Imam Mujahidin Fahmid, pada tahun 2020.
“Saya ingat kami dikumpulkan di ruangannya Pak Imam,” jawab Dedi.
Hakim kemudian bertanya mengenai apa yang disampaikan Imam saat pertemuan tersebut berlangsung.
“Dikumpulkan oleh Prof Imam, kemudian apa yang disampaikan?” tanya hakim.
Dedi menjelaskan bahwa mereka diminta untuk membantu kebutuhan operasional SYL dengan mengumpulkan uang secara patungan.
“Intinya kita diminta saat itu bantu Pak Menteri, begitu intinya,” kata Dedi.
Dedi juga menyebut bahwa perintah untuk patungan ini disampaikan sebanyak dua kali oleh Imam. Dana yang dikumpulkan digunakan untuk berbagai kebutuhan non-budgeter SYL.
Hakim kembali bertanya untuk memperjelas peran Dedi dalam patungan tersebut.
“Dikumpul di ruangan Prof Imam, kemudian disampaikan apa?” tanya hakim.
“Disampaikan intinya adalah bahwa kita diminta untuk membantu Pak Menteri, istilah beliau itu membantu Pak Menteri ya termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan yang nonbudgeter itu,” jawab Dedi.
“Membantu Pak Menteri dalam hal apa?” tanya hakim.
“Dalam rangka ya pelaksanaan kegiatan Pak,” jawab Dedi.
Dalam dakwaannya, SYL dituduh melakukan pemerasan dan menerima gratifikasi senilai total Rp 44,5 miliar. Selain SYL, dua mantan anak buahnya, Sekjen Kementan nonaktif Kasdi dan Direktur Kementan nonaktif M Hatta, juga didakwa dalam berkas perkara terpisah.
Para pejabat Kementan yang menjadi saksi mengaku harus patungan untuk memenuhi berbagai kebutuhan SYL, seperti sewa jet pribadi, umroh, perjalanan ke Brasil dan Amerika Serikat, sapi kurban, renovasi kamar anak, membeli mobil anak, skincare anak, hingga membeli mikrofon.
Selain patungan, pejabat di Kementan juga melakukan perjalanan dinas fiktif. Uang dari perjalanan dinas fiktif tersebut dicairkan dan digunakan untuk memenuhi berbagai permintaan SYL.
Praktik Patungan dan Perjalanan Dinas Fiktif di Kementan
Kasus gratifikasi yang melibatkan mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL), mengungkap praktik patungan yang dilakukan oleh pejabat eselon I Kementan. Dalam persidangan, Dedi Nursyamsi menjelaskan bahwa mereka diminta mengumpulkan uang untuk kebutuhan non-budgeter SYL. Praktik ini terjadi beberapa kali dan mengikutsertakan hampir semua pejabat eselon I.
Selain patungan, terungkap pula adanya perjalanan dinas fiktif yang dilakukan oleh pejabat Kementan untuk memenuhi berbagai permintaan SYL. Uang hasil dari perjalanan dinas fiktif tersebut digunakan untuk keperluan pribadi SYL, seperti sewa jet pribadi, perjalanan umroh, dan membeli barang-barang mewah untuk keluarganya. Kasus ini menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang sistematis di Kementan.
Dakwaan terhadap SYL dan mantan anak buahnya, Kasdi dan Hatta, dengan nilai gratifikasi mencapai Rp 44,5 miliar, menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Penegakan hukum yang tegas diharapkan dapat mencegah praktik serupa terjadi di masa depan, serta mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah.