Bengkulu, Memo |
Hina palestina, siswa SMA Bengkulu dikeluarkan. Siswa pelajat kelas 2 SMA, berinial MS, usia 29 tahun itu, dijerat pasal ujaran kebencian dan menghina Palestina melalui akun Tiktok.
MS (19) pelajar kelas II SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu dikeluarkan dari sekolahnya akibat tindakan ujaran kebencian menghina Palestina di media sosial TikTok-nya yang sempat viral.
Heboh Rekaman Tiktok, Hina Palestina; Polisi, Dinas Pendidikan, Komite Sekolah, FKUB, Kementerian Agama dan DPRD , Tegas !
“Keputusan ini diambil setelah pihak sekolah mengevaluasi tata tertib sekolah dan pelanggaran MS dan hasilnya yang bersangkutan sudah melampaui ketentuan,” kata Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Bengkulu Tengah, Adang Parlindungan di Bengkulu, Rabu.
Ia mengatakan keputusan itu merupakan jalan keluar yang sudah disepakati bersama antara
pihak sekolah, orangtua MS dan sejumlah pihak terkait yang dimediasi kepolisian dan sejumlah tokoh masyarakat.
Ia menambahkan bahwa berdasarkan hasil rapat internal yang telah dilakukan oleh Dinas
Cabdin Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Benteng dengan pihak sekolah, pelajar tersebut
dikembalikan ke orang tuanya untuk dibina.
Minta Maaf Secara Terbuka Melalui Media Sosial
Selain itu, MS juga sudah membuat permintaan maaf yang disampaikan secara terbuka dan
disebarluaskan lewat media sosial miliknya.
Dari keputusan rapat yang dihadiri oleh Kapolres Benteng, Waka Polres Benteng, Kasat Intel Polres Benteng, Kasat Reskrim Polres Benteng, Kepala Cabdin Pendidikan Wilayah VIII
Benteng, kepala sekolah, ketua komite, FKUB, Badan Kesbangpol Benteng, Kemenag Benteng,
Komisi I DPRD Benteng tersebut disepakati kasus MS dinyatakan selesai.
Rekaman Ujaran Kebencian di Tiktok
Sebelumnya MS membuat rekaman ujaran kebencian terhadap Palestina yang saat ini sedang
berkonflik dengan Israel. Dalam unggahan berdurasi 8 detik yang sudah dihapus oleh TikTok itu MS merekam dirinya menyuarakan hujatan terhadap Palestina.
Dalam rapat bersama para pihak itu MS juga telah menyampaikan permintaan maaf dan
menyatakan tindakannya itu adalah spontan sebagai bentuk keisengan dengan tujuan
mengikuti tren bermedia sosial dan ia tidak menyangka akan berbuntut panjang.
Pelaku Minta Maaf
“Saya minta maaf atas perbuatan saya, baik kepada warga Palestina maupun seluruh warga
Indonesia. Saya hanya iseng dan bercandaan saja bukan maksud berbuat apa-apa dan saya
juga tidak menyangka bisa seramai ini,” ujarnya.
Pelaku tidak mengira, jika tik tok yang dibuat tersebut berdampak hingga menggegerkan netisen seluruh Indonesia. Ujaran kebencian, menurut beberapa pihak hanya akan berdampak pada kerukuman antar ummat beragama di Indonesia.
Karena itulah, tindakan sekolah mengeluarkan pelaku dari lembaga pendidikan tersebut, diputuskan secara serius, melibatkan instrumen penyelenggara negara lainnya. Diantaranya, aparat kepolisian , dinas pendidikan, Forum Kerukunan Ummat Beragama dan Kementerian Agama.
Aktivis Membela Pelaku Berdasar UU Perlindungan Anak
Tindakan sekolah yang memutuskan mengeluarkan MS mendapat sorotan dari aktivis
perlindungan perempuan dan anak. Direktur Pusat Pendidikan Perempuan dan Anak (PUPA)
Susi Handayani mengatakan mengeluarkan MS dari sekolah adalah bentuk penghukuman yang
seharusnya tidak lagi diberikan kepada anak sesuai dengan UU nomor 35 tahun 2014
Perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
“Pertama kita semua mengakui apa yang dilakukan anak itu salah tapi yang diberikan
seharusnya sanksi yang berdampak baik bagi anak, bukan hukuman. Karena semangat UU
Perlindungan Anak tidak ada lagi hukuman bagi anak,” kata Susi.
Bentuk sanksi yang dapat diberikan kepada anak itu menurut Susi antara lain membuat konten pendidikan di media sosial yang ia gunakan dalam durasi tertentu sehingga bentuk sanksi itu
Sayangkan Kebijakan Mengeluarkan dari Sekolah
Ia menilai, kebijakan mengeluarkan anak dari sekolah adalah pola penghukuman karena
mengacu pada poin-poin pelanggaran tata tertib sekolah dan hukumannya adalah dikeluarkan
dari sekolah dimana seharusnya pola ini tidak diterapkan lagi dalam sistem pendidikan yang memerdekakan.
Selain itu menurut Susi, dalam mediasi dengan berbagai pihak yang digelar beberapa hari lalu, MS seharusnya juga memiliki pendamping karena dalam posisi hanya didampingi orangtua maka posisi MS sangat lemah dan hanya menerima semua keputusan yang ditimpakan padanya.
“Saat anak dihadirkan dalam proses mediasi seharusnya didampingi karena dia dihadirkan
sebagai orang yagn bersalah tentu ada tekanan psikologis. Maka semua hal dia terima karena posisinya lemah,” ujarnya.