Menteri BUMN, Erick Thohir, mengungkapkan dua alasan utama di balik rencana merger tiga perusahaan penerbangan terbesar Indonesia, yakni Garuda Indonesia, Citilink, dan Pelita Air. Pertama, merger ini bertujuan untuk menekan biaya logistik dalam upaya mendorong efisiensi industri penerbangan.
Kedua, langkah ini diambil untuk memperkuat industri penerbangan Indonesia yang masih memerlukan perbaikan, terutama terkait dengan kekurangan armada pesawat. Bagaimana dampak merger ini terhadap penerbangan di Indonesia? Mari kita simak lebih lanjut.
Erick Thohir Ungkap Alasan Kuat di Balik Merger Garuda, Citilink, dan Pelita Air
Menteri BUMN, Erick Thohir, mengungkapkan alasan di balik rencana penyatuan atau penggabungan tiga perusahaan penerbangan, yaitu Garuda Indonesia, Citilink, dan Pelita Air. Merger ini adalah bagian dari kelanjutan dari program efisiensi BUMN yang sebelumnya telah dilakukan oleh Kementerian BUMN terhadap empat Pelindo pada tahun 2021.
Erick menjelaskan dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan di Jakarta pada hari Senin, 21 Agustus kemarin, bahwa ada dua alasan utama di balik rencana merger ini.
Pertama, merger ini bertujuan untuk menekan biaya logistik. Menurut Erick, penggabungan ini dapat memperkuat industri penerbangan negara dan membuatnya lebih efisien. Dia mengungkapkan bahwa BUMN terus berusaha untuk mengurangi biaya logistik.
Sebagai contoh, upaya sebelumnya telah menggabungkan empat Pelindo menjadi satu entitas, yang sebelumnya biaya logistik mencapai 23 persen, kini telah turun menjadi 11 persen. Oleh karena itu, langkah untuk menggabungkan Pelita Air, Citilink, dan Garuda diharapkan dapat lebih lanjut mengurangi biaya operasional.
Mendorong Efisiensi dan Pertumbuhan: Rencana Merger Penerbangan Indonesia
Kedua, merger ini juga bertujuan untuk memperkuat industri penerbangan Indonesia. Menurut Erick, hingga saat ini, industri penerbangan dalam negeri masih perlu diperkuat. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan armada penerbangan.
Erick mencatat bahwa Indonesia masih memiliki kekurangan sekitar 200 pesawat jika dibandingkan dengan Amerika Serikat.
Erick menggambarkan perbandingan antara Amerika Serikat dan Indonesia dalam hal armada penerbangan. Amerika Serikat memiliki sekitar 7.200 pesawat yang melayani rute domestik untuk penduduk sekitar 300 juta orang dengan rata-rata GDP per kapita mencapai US$40 ribu. Sementara itu, di Indonesia, ada sekitar 280 juta penduduk dengan GDP per kapita sekitar US$4.700.
Dari perbandingan ini, Erick menyimpulkan bahwa Indonesia memerlukan sekitar 729 pesawat, sementara saat ini baru memiliki 550 pesawat. Oleh karena itu, langkah-langkah seperti merger diharapkan dapat membantu memenuhi kebutuhan logistik yang masih belum sesuai dengan perkembangan industri penerbangan di negara ini.
Mengapa Merger Garuda Indonesia, Citilink, dan Pelita Air: Alasan dan Dampaknya
Dalam upaya menuju industri penerbangan yang lebih kuat dan efisien, merger ini menjadi langkah strategis. Namun, tetap perlu diikuti dengan implementasi yang cermat dan pengelolaan yang bijaksana. Kesuksesan merger ini akan berdampak positif tidak hanya pada industri penerbangan, tetapi juga pada ekonomi nasional secara keseluruhan.