Dalam konteks perdebatan mengenai regulasi kemasan makanan di Indonesia, Ketua PWI Jaya, Sayid Iskandarsyah, menekankan pentingnya pendekatan yang komprehensif. Dia berpendapat bahwa kebijakan semacam ini tidak dapat hanya membidik satu produk saja, melainkan harus memperhitungkan semua aspek yang terlibat.
Namun, apakah rencana regulasi BPOM mengenai pelabelan BPA pada kemasan makanan benar-benar merata? Mari kita simak kesimpulan dari pandangan beragam ahli dan pemangku kepentingan.
Ketua PWI Jaya: Regulasi Kemasan Makanan Harus Merata dan Adil
Ketua PWI Jaya, Sayid Iskandarsyah, menyampaikan pendapatnya tentang regulasi kemasan makanan dengan gaya yang sangat manusiawi. Menurut beliau, tidak cukup hanya mengatur satu jenis produk secara terpisah; regulasi harus merangkul semua aspek.
Di samping itu, penting untuk menerapkan standar kesehatan yang ada di Indonesia secara adil, terutama ketika melibatkan perlindungan konsumen. Sayid mengungkapkan bahwa kebijakan yang akan datang pasti akan mengundang beragam pendapat di masyarakat.
Dia menekankan bahwa regulasi yang diterapkan haruslah berpihak pada kepentingan umum, bukan kelompok atau pengusaha tertentu. Ini adalah tanggapan atas rencana Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk menerbitkan kebijakan pelabelan BPA pada kemasan galon.
Menurut Sayid, pelabelan BPA harus diterapkan secara merata, tidak hanya pada kemasan galon, tetapi juga pada jenis kemasan lain yang mengandung BPA, sesuai dengan regulasi yang akan dibuat oleh BPOM.
Dia menyatakan, “Saya menyarankan agar semua kemasan, termasuk plastik dan kaleng, yang mengandung BPA, harus diberi label oleh BPOM.”
Sementara itu, dia juga mengingatkan bahwa sampai saat ini tidak ada informasi yang mengindikasikan adanya kandungan BPA dalam kemasan makanan yang melebihi ambang batas yang aman. Dengan kata lain, kemasan makanan yang ada saat ini masih aman digunakan oleh masyarakat.
Pendapat Ahli dan Pemangku Kepentingan Mengenai Kebijakan BPOM Terkait BPA
Namun, Sayid juga menunjukkan bahwa definisi ‘aman’ ini perlu diklarifikasi lebih lanjut oleh para ahli, termasuk parameter keamanannya.
Sahid Hadi, seorang peneliti Bisnis dan HAM dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII, mengingatkan agar kebijakan yang akan diterapkan tidak diskriminatif dan harus memberikan kepastian layanan kesehatan kepada seluruh masyarakat. Dia menekankan bahwa kebijakan ini tidak boleh menghasilkan persaingan bisnis yang tidak sehat.