Penggunaan teknologi Face Recognition dalam layanan kereta api telah menuai kontroversi dan perdebatan terkait kebijakan privasi serta pemrosesan data. Wahyudi Djafar, Direktur Eksekutif Elsam, mengungkap beragam masalah yang muncul, termasuk ketidakpahaman masyarakat dan kebutuhan akan perlindungan data biometrik.
Bagaimana permasalahan ini mempengaruhi kebijakan KAI dan apa yang diusulkan Wahyudi? Simak pemaparannya di sini.
Kontroversi dan Permasalahan Terkait Penggunaan Teknologi Face Recognition di Kereta Api
Baru-baru ini, sebuah kejadian viral melibatkan seorang penumpang kereta api yang diperlakukan berbeda karena tidak menggunakan layanan Face Recognition. Namun, penggunaan opsi verifikasi penumpang tersebut nampaknya menimbulkan berbagai masalah.
Menurut Wahyudi Djafar, Direktur Eksekutif Elsam, salah satu masalahnya adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap teknologi tersebut. Wahyudi berpendapat bahwa masyarakat belum benar-benar memahami hal ini, termasuk kebijakan pemrosesan data yang terkait.
Dia memberikan contoh terkait proses pendaftaran wajah. Pertanyaannya adalah bagaimana data tersebut disimpan oleh KAI? Apakah data rekam wajah akan disimpan secara terus-menerus oleh KAI atau akan segera dihapus setelah proses boarding selesai?” ujar Wahyudi kepada CNBC Indonesia.
Tujuan penggunaan Face Recognition sebagai verifikasi dan autentikasi juga menimbulkan pertanyaan. Penggunaan biometrik biasanya berkaitan dengan layanan-layanan yang memiliki risiko tinggi, seperti transaksi keuangan dan perbankan.
“Jika tujuannya hanya untuk proses boarding, mengapa harus menggunakan data biometrik?” tanyanya.
Masalah lainnya adalah kurangnya penjelasan dari pihak KAI terkait kebijakan privasi terkait penggunaan face recognition. Wahyudi mengungkap bahwa dari informasi yang ditemukannya, KAI baru melampirkan kebijakan privasi terkait KAI Access.
Namun, terkait face recognition, belum ada penjelasan. Misalnya, terkait proses dan lamanya penyimpanan data di KAI.
“Kebijakan privasi KAI hanya terkait dengan aplikasi KAI Access. Saya belum menemukan kebijakan privasi khusus yang menjelaskan tentang face recognition ini. Selain itu, dalam proses pengambilan wajah juga tidak dijelaskan mengenai lamanya data tersebut disimpan,” ungkap Wahyudi.
Berdasarkan UU Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), data biometrik dianggap sebagai data yang sangat spesifik. Oleh karena itu, Wahyudi menyatakan bahwa perlindungan dan persetujuan penggunaan dari subjek data sangat diperlukan.
Wahyudi Djafar Ungkap Masalah Kebijakan Privasi dan Perlindungan Data Biometrik KAI
Menurut aturan yang sama, masyarakat memiliki hak untuk menolak jika datanya direkam oleh pihak lain. UU PDP memiliki ketentuan terkait hak menolak yang berkaitan dengan pemrosesan data.
Hal ini terkait dengan kontroversi postingan viral mengenai kejadian di Stasiun Bandung. Postingan tersebut menunjukkan bahwa mereka yang tidak menggunakan face recognition hanya bisa masuk 10 menit sebelum keberangkatan.