Pertumbuhan pesat layanan streaming film, seperti Netflix, telah menimbulkan tantangan baru bagi regulasi di Indonesia. Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, tengah mempertimbangkan kemungkinan mengintegrasikan layanan OTT (over the top) ke dalam lingkup penyiaran yang sejajar dengan siaran TV konvensional.
Dalam konteks ini, pertanyaan mengenai regulasi, sensorship, dan keadilan perlakuan terhadap tayangan semakin mendesak untuk dijawab.
Kajian Menteri Komunikasi: Netflix dan Layanan OTT di Bawah Sorotan
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi tengah menjalankan sebuah evaluasi mendalam mengenai kemungkinan untuk mengintegrasikan layanan streaming film seperti Netflix ke dalam lingkup penyiaran yang sejajar dengan siaran TV konvensional.
Dalam pertemuan di Jakarta pada hari Kamis (10/8), Budi Arie Setiadi mengungkapkan, “Kami tengah serius mempertimbangkan kemungkinan untuk memasukkan layanan OTT (over the top, penyedia layanan video internet) ke dalam ranah penyiaran.
Hal ini akan memungkinkan layanan streaming ini juga tunduk pada regulasi-regulasi yang berlaku di Indonesia, seperti halnya tayangan free to air (FTA), termasuk regulasi tentang sensorship dan berbagai aspek lainnya. Tujuan kami adalah agar tidak ada perbedaan perlakuan antara media yang berbeda, misalnya melalui UU Penyiaran.”
Budi Arie Setiadi juga berbicara tentang pentingnya perlakuan yang adil terhadap tayangan-tayangan serupa. “Keduanya merupakan produk film, hanya berbeda dalam platformnya. Satu menggunakan OTT, yang lain menggunakan FTA. Perlakuan terhadap keduanya haruslah seragam, mengingat keduanya menghasilkan produk yang sama, yaitu film. Tidak seharusnya ada perbedaan yang signifikan antara keduanya, terutama dalam hal regulasi,” tandasnya.
Menteri yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi ini menekankan bahwa hingga saat ini, layanan streaming belum berada di bawah pengawasan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). “Kami sedang dalam proses diskusi mengenai hal ini,” tambahnya.
Dalam suatu Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I di Kompleks Parlemen pada hari Senin (6/2), Ketua KPI Pusat saat itu, Agung Suprio, mengakui bahwa KPI tidak memiliki wewenang untuk mengatur konten-konten dari layanan OTT.
Agung Suprio menjelaskan, “Kami saat ini belum memiliki kewenangan untuk mengawasi over the top.” Tanggapannya muncul setelah Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP, Sturman Panjaitan, mengungkapkan kekhawatirannya mengenai konten-konten berunsur pornografi yang ada dalam layanan TV berlangganan.
Agung Suprio menyatakan bahwa wewenang KPI saat ini hanya berlaku untuk TV konvensional atau TV kabel. “Namun, dalam hal TV streaming, kami belum memiliki kewenangan,” lanjutnya.
Regulasi Tantangan Baru: Integrasi Layanan Streaming ke Dalam Ranah Penyiaran
Beliau menjelaskan bahwa hal ini berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi UU Penyiaran yang diajukan oleh Inews dan RCTI pada tahun 2021. Permohonan judicial review ini salah satunya mengusulkan perluasan cakupan regulasi penyiaran untuk mencakup layanan OTT. Artinya, layanan seperti Netflix hingga YouTube akan tunduk pada UU Penyiaran dan akan diawasi oleh KPI.
“Namun, MK menolak gugatan ini. Hingga saat ini, KPI tidak memiliki kewenangan atas over the top,” tegasnya.
Pada tahun 2021, MK telah menyatakan bahwa permohonan dua stasiun TV yang dimiliki oleh MNC Group tersebut tidak relevan karena tidak ada celah hukum yang terbuka. Mahkamah memandang bahwa isu terkait layanan streaming telah diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
MK juga telah menilai bahwa UU ITE dan regulasi terkait memiliki kemampuan untuk mengatur konten yang melibatkan unsur pornografi, SARA, ujaran kebencian, serta pelanggaran hak kekayaan intelektual.
“Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa jika permohonan pemohon diizinkan, maka akan ada kebingungan dalam mengatur layanan konvensional dan layanan OTT,” kata Hakim MK Arief Hidayat saat itu.
Pada tahun 2021, Wakil Ketua KPI, Mulyo Hadi Purnomo, telah menyatakan bahwa pengawasan dan penegakan hukum terhadap konten asing dalam layanan OTT masih menjadi tanggung jawab Ditjen Aplikasi Informatika (Aptika) di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika.
“Kami telah mengingatkan Ditjen Aptika mengenai meningkatnya konten negatif dalam layanan OTT asing. Namun, hingga saat ini, konten negatif tersebut masih ada,” ujarnya pada Selasa (23/2/2021).
Berdasarkan laporan sebelumnya dari CNNIndonesia.com, Kementerian Komunikasi dan Informatika memiliki wewenang untuk meminta penghapusan konten yang dianggap melanggar aturan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang terdaftar, termasuk Netflix.
Ketentuan dari Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik serta Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat telah mengatur hal tersebut.
Tantangan Regulasi untuk Layanan Streaming di Indonesia: Potret Kajian Menteri Komunikasi dan Informatika
Kesulitan mengatur konten dalam layanan streaming OTT juga mencerminkan kompleksitas tantangan regulasi di era digital. Meskipun layanan streaming telah meraih popularitas luar biasa dan memberikan alternatif tontonan yang menarik bagi masyarakat, perlu ada pendekatan yang matang untuk menjaga standar moral, hukum, dan keadilan dalam ekosistem media yang semakin terdiversifikasi.
Dalam hal ini, sinergi antara berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, penyelenggara layanan, dan masyarakat, diperlukan untuk mengembangkan regulasi yang adaptif dan sejalan dengan perkembangan teknologi serta nilai-nilai sosial yang ada.