Pertarungan epik antara Bandot Lahardo dan seekor singa buas di GBK adalah salah satu peristiwa bersejarah yang masih dikenang hingga kini. Namun, bagaimana pertarungan tersebut berakhir? Simak kesimpulan yang mengungkap kekecewaan para penonton.
Kronologi Pertarungan Bandot Lahardo dan Singa Buas di Gelora Bung Karno
GBK atau Gelora Bung Karno adalah sebuah stadion yang mampu menampung hingga 77 ribu penonton, awalnya dirancang untuk pertandingan sepak bola dan atletik. Namun, seiring berjalannya waktu, GBK juga beberapa kali digunakan untuk konser dan berbagai acara publik lainnya. Salah satu acara yang cukup mencolok adalah ajang gladiator.
Ya, Anda tidak salah dengar, gladiator seperti yang biasa kita kenal di Eropa, di mana seseorang berduel dengan binatang buas hingga mati, pernah diadakan di GBK sekitar 55 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 3 September 1968.
Motivasi dari panitia untuk mengadakan pertarungan gladiator ini tidak sepenuhnya jelas. Mereka memutuskan untuk menggelar pertarungan antara seorang pria bernama Bandot Lahardo dengan seekor singa buas. Menurut laporan dari Reuters, Bandot diketahui pernah berhasil mengalahkan harimau dan dua ekor kerbau hanya dengan tangan kosong.
Oleh karena prestasinya yang mengesankan ini, Bandot diundang sebagai petarung untuk memperlihatkan kehebatannya kepada penonton GBK. Ia akan berduel melawan singa dalam sebuah kerangkeng besi yang ditempatkan di tengah-tengah GBK.
Dalam perjanjian yang dikutip oleh Tempo pada tanggal 20 Mei 1972, Bandot menyatakan, “Kalau saya mati atau gagal melawan banteng dan harimau tersebut, keluarga saya tidak berhak menuntut apa-apa kepada panitia.”
Antusiasme Massa dan Kehadiran Adam Malik di GBK
Akhirnya, hari pelaksanaan pertarungan tiba. Pada sebuah pagi yang cerah, masyarakat sangat antusias datang untuk menyaksikan pertarungan ini. Seluruh bangku di GBK, termasuk yang biasa dan yang VIP, penuh sesak. Bahkan, Menteri Luar Negeri Adam Malik yang kelak menjadi Wakil Presiden RI Ke-2 turut hadir untuk menyaksikan gladiator pertama di Indonesia.
Secara total, ada sekitar 100 ribu orang yang memadati GBK, bahkan ada yang membawa teropong khusus untuk melihat Bandot berduel melawan singa buas tersebut.
Namun, sayangnya, hasil pertarungan tidak sesuai dengan harapan para penonton. Mereka merasa kecewa karena tidak ada pertumpahan darah yang terjadi. Singa yang menjadi lawan Bandot justru malas berkelahi dan tidak menunjukkan perlawanan.
Meskipun Bandot berusaha memprovokasi singa berkali-kali, singa hanya berputar-putar di arena tanpa pernah menyerang Bandot.
Tempo melaporkan, “Dia hanya mengaum sekali lalu loyo bagaikan kucing malu menghadapi sang gladiator.”
Setelah singa gagal, panitia akhirnya memasukkan seekor banteng ke dalam arena pertandingan. Namun, seperti singa, banteng yang awalnya terlihat ganas tiba-tiba menjadi lemas di hadapan Bandot. Banteng hanya sekali menubruk dada Bandot sebelum akhirnya bertingkah laku serupa dengan singa, tanpa menunjukkan semangat bertarung yang sesungguhnya.
Akibatnya, Bandot yang tampil seperti pahlawan dengan tubuh telanjang dada yang berotot, mengenakan ikat kepala dan celana hitam, harus meninggalkan arena tanpa ada tanda-tanda luka di tubuhnya. Penonton pun merasa kecewa dan menyalahkan Bandot karena pertarungan tersebut tidak memuaskan.
Kekecewaan di GBK: Duel Gladiator Bandot Lahardo dan Singa Buas yang Tak Memuaskan
Dalam sebuah acara yang memikat ribuan penonton, GBK menjadi saksi pertarungan antara Bandot Lahardo, pria berani yang telah mengalahkan harimau dan kerbau dengan tangan kosong, dan seekor singa buas. Namun, harapan untuk menyaksikan duel gladiator yang mendebarkan ternyata pupus.
Singa tersebut tak bersemangat untuk berkelahi dan hanya berputar-putar di arena. Ketika banteng digantikan sebagai lawan, hasilnya tak berbeda. Bandot keluar dari arena tanpa cedera sedikit pun, menyisakan kekecewaan di hati para penonton.
Duel gladiator di GBK pada 3 September 1968 mungkin menjadi sejarah, tetapi akan selalu diingat sebagai pertarungan yang tak memuaskan.