MEMO | Berkutat dengan lumpur kawasan mangrove rambai dan terjun ke sungai sudah menjadi “makanan” sehari-hari para pegiat Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) yang beraktivitas di kawasan Stasiun Riset Bekantan, Pulau Curiak, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan.
Tersedianya makanan di alam bagi bekantan, yaitu buah rambai, menjadi salah satu fokus tim SBI, sehingga keberadaan tumbuhan rambai yang berada di kawasan mangrove (bakau) di pesisir sungai senantiasa dijaga.
Sonneratia caseolaris (rambai padi) merupakan salah satu jenis tanaman mangrove yang tumbuh pada substrat dari kombinasi antara batu, lumpur,dan pasir dengan kedalaman berkisar antara 18-22 cm serta selalu tergenang air.
Daerah hutan mangrove terutama di muara sungai yang tergenang pada saat air pasang dan bebas dari genangan pada saat surut adalah habitat alami bekantan sebagai satwa endemik Kalimantan yang menjadi maskot fauna Kalimantan Selatan.
Amalia Rezeki, pendiri Yayasan Sahabat SBI sadar, untuk menyelamatkan bekantan di Pulau Curiak tidaklah mudah.
Selain berada di luar kawasan konservasi, habitat bekantan tersebut berada di pulau kecil yang luasnya waktu itu tidak lebih dari 3 hektare dan dihuni oleh 14 ekor bekantan.
Bagi Amel, sebutan akrab dosen Pendidikan Biologi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ini, menyelamatkan bekantan tidaklah mungkin tanpa menyelamatkan habitatnya.
Untuk itulah, ia bersama timnya di SBI berusaha sekuat tenaga berupaya memenuhi daya dukung bagi habitat bekantan.
Tiga strategi utama dalam upaya pelestarian bekantan pun ditempuh yaitu program buy back land atau beli kembali lahan, program restorasi mangrove rambai, serta program pemberdayaan masyarakat.
Untuk buy back land, sejengkal demi sejengkal SBI membeli lahan yang dulunya merupakan hutan mangrove dan habitat bekantan serta keragaman hayati lahan basah lainnya untuk direstorasi dan ditanami pohon rambai.
Amel tahu, SBI tak memiliki cukup uang untuk membeli lahan yang wilayahnya sudah dikelilingi oleh permukiman dan kawasan industri tersebut.
Akan tetapi hal itu tak menyurutkan hatinya dengan semangat dan komitmen yang kuat serta teman-teman yang dengan tulus membantunya.
“Alhamdulillah dengan segala keterbatasan, sedikit demi sedikit telah kami beli kembali dan dihutankan kawasan yang dulu dialihfungsikan,” kata Amel ditemui di Stasiun Riset Bekantan, Pulau Curiak, pekan ini.
Alhasil, kini Pulau Curiak mulai tampak hijau dengan kehidupan liar yang menghuni kawasan tersebut.
Pulau Curiak yang awalnya seluas 2,4 hektare, kemudian setelah dilakukan restorasi menjadi 4,01 hektare kini.
Adapun lahan di seberangnya yang juga menjadi habitat bekantan ditanami kembali pohon mangrove rambai (Soneratia caseolaris) sebagai zona penyangga habitat bekantan sekaligus menjadi markas kerja dari Stasiun Riset Bekantan yang dibangun bekerja sama dengan ULM dan Pemerintah Kabupaten Batola.
Untuk capaian perluasan kawasan penyangga kini bertambah luas sekitar 4 hektare melalui program “Buy Back Land”.
Tanam 10.000 bibit rambai
Pada program restorasi mangrove rambai yang bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan hidup habitat bekantan melalui pemulihan kerusakan hutan bakau ini, tim menanam pohon mangrove rambai kembali.
Program yang dilakukan SBI di Kalimantan Selatan hingga saat ini telah menanam lebih dari 10.000 bibit rambai.
Hutan mangrove rambai yang ditanam bersama Pertamina Patra Niaga Banjarmasin, Astra Honda Motor, dan masyarakat lokal di sekitar Stasiun Riset Bekantan di Pulau Curiak mencakup kawasan Mangrove Rambai Center.
Sejak tahun 2015, sebanyak 10.000 pohon lebih yang ditanam tumbuh dengan baik, bahkan ada yang telah membentuk pulau delta baru di kawasan Sungai Barito yang sekarang dihuni sekelompok bekantan.
Keberhasilan penyelamatan habitat bekantan yang termasuk kawasan mangrove ini bisa dilihat dari peningkatan populasi bekantan saat ini mencapai 38 ekor dari awalnya 14 ekor pada tahun 2016.