“Masing-masing negara memiliki kepentingan tersendiri, sehingga mereka akan mencari kesepakatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Faktor-faktor seperti perbedaan geografis, kondisi iklim, dan topografi antar negara menyebabkan variasi dan kualitas ketersediaan air juga bervariasi,” jelasnya.
Dalam sebuah kesempatan lain, Dwikorita juga memperingatkan bahwa situasi ini dapat memperburuk kesenjangan ekonomi yang pada akhirnya akan berdampak pada tingkat kesejahteraan dan ketahanan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim.
Sementara itu, ketika ditanya tentang nasib Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, Dwikorita menyatakan bahwa Indonesia memiliki kemampuan teknologi yang cukup baik, ditambah dengan kearifan lokal dan budaya masyarakat yang dapat membantu mengatasi kesenjangan tersebut.
Berdasarkan data dari WMO, kerugian ekonomi global akibat peristiwa cuaca ekstrem, krisis iklim, dan masalah air terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada dekade 1980-an, kerugian ekonomi mencapai US$305,5 miliar; dekade 1990-an, meningkat menjadi US$906,4 miliar; periode 2000-an, mencapai US$997,9 miliar; dan pada dekade 2010-an, melonjak tajam menjadi US$1.476,2 miliar.
Dwikorita menekankan pentingnya melakukan antisipasi terhadap bencana iklim yang lebih besar mengingat tren kenaikan suhu yang terus berlanjut.
“Ancaman kekeringan yang kita hadapi saat ini seolah-olah baru permulaan dari masalah yang lebih besar,” tambahnya.
Menurut perhitungan yang dilakukan oleh BMKG, rata-rata suhu meningkat sebesar 0,3 derajat Celsius setiap dekade. Namun, beberapa ahli dan lembaga iklim dunia memprediksi bahwa peningkatan suhu ini bisa terjadi dengan lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.
Kesenjangan dan Ketidakadilan: Negara-Negara Berkembang Dalam Bayang-Bayang Krisis Iklim
Dari penelitian yang dilakukan oleh World Meteorological Organization (WMO) serta paparan Dwikorita Karnawati, kepala BMKG, dapat disimpulkan bahwa negara-negara berkembang dan belum maju lebih rentan terhadap dampak krisis iklim daripada negara maju.
Kesenjangan ekonomi yang besar, kurangnya kapasitas untuk menghadapi bencana, dan kompleksitas tantangan yang dihadapi menunjukkan adanya ketidakadilan dalam penanganan isu iklim global. Upaya untuk mencapai keadilan dalam hal iklim dan air masih jauh dari terwujud, sementara kerugian ekonomi terus meningkat dari waktu ke waktu.
Hal ini menggarisbawahi pentingnya langkah-langkah antisipatif dan kolaboratif untuk mengurangi kerentanan negara-negara berkembang terhadap krisis iklim.